Jangan Biarkan Kesempatan Hilang...segera Gabung di Bisnis Online yang Akan Booming ..Klik : www.superbambang.co.cc
Pengharapan itu sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita yang telah dilabuhkan sampai kebelakang tabir.
- Terus mengharapkan yang terbaik, maka kita akan menghasilkan yang terbaik.
- Jangan bersungut-sungut tetapi mengucap syukurlah senantiasa.

Kamis, 18 Maret 2010

Seni, Seks, dan Revolusi,,Kenapa Tidak

Seni adalah seni, seks adalah seks. Revolusi apalagi? Mungkinkah tiga dunia ini menjadi sebuah kesatuan? Kenapa tidak?! Tidak ada yang tidak mungkin di dunia yang sarat dengan imajinasi dan kreatifitas serta strategi. Semuanya adalah mungkin.

Seni sudah lama digunakan sebagai sarana untuk berpolitik dan juga sangat berperan dalam revolusi. Sudah banyak sekali contohnya. Mao melakukan revolusi budaya lewat seni bahasa untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme bangsanya. Begitu juga yang terjadi di Perancis saat terjadi revolusi anti feodalisme. Stalin waktu lengser? Hmmm…. Berapa banyak, tuh, lukisan, buku, film, dan pahatan yang dibuat untuk “melengserkan” dan mengagungkan periode historik dan mendebarkan pada masa itu. Di Indonesia juga sama, kan?! Apa yang terjadi pada saat Lekra membumihanguskan karya-karya seni anak bangsa saat itu?! Apalagi kalau bukan untuk melakukan revolusi. Mungkin harus kita tanyakan kepada para tokoh-tokohnya yang sampai sekarang masih hidup dan dipuja atas karya seninya, ya?! Siapa tahu sekarang mereka mau mengakuinya secara jujur dan benar. Mumpung masih ada kesempatan. Waktu sudah dekat soalnya.

Memang, sih, ini dijadikan perdebatan oleh mereka yang mengaku memiliki pemahaman post modernism. Para pemikir aliran ini tidak percaya kalau seseorang bisa memahami konteks dari apa yang menjadikan karya seni ini sampai bisa terbentuk, Tidak bisa dijadikan alat komunikasi universal karena bisa menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda. Makanya mulailah kemudian para seniman “dinilai” berdasarkan kehidupan ekonomi, ideologi politik, keyakinan, pendidikan dan seterusnya dan seterusnya. Menyebalkan!!!

Cukup aneh menurut saya! Seni adalah bahasa yang sangat universal walaupun bisa memberikan persepsi yang berbeda. Namun semua bisa dibuat sedemikian rupa agar bisa diarahkan kepada satu tujuan. Apa mungkin karena saya seorang penulis, ya?! Soalnya, dunia yang saya tekuni ini adalah bagian dari dunia imajiner di mana apapun bisa saja terjadi dan sangat bisa terjadi. Segala koreksi imajinasi bisa menjadikan koreksi atas apa yang sekarang ini sedang terjadi dan sedang dirasakan. Kalau saya sedang bermimpi bahwa semua rakyat Indonesia sedang bercinta dengan negara ini, ya, jadinya bercinta, deh!!! Kan, batas-batas kenyamanan dalam bentuknya hanya ada pada diri saya sendiri. Belum tentu semuanya sama dengan apa yang saya alami.

Seks adalah sebuah bagian dari seni. Ini menurut saya, lho, ya!!! Bila seks tidak dilakukan dengan penuh keindahan, seks itu tidak menjadi indah. Hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis saja. Psikologisnya belum tentu juga tercapai. Apalagi faktor-faktor yang lain?! Nggak seru, ah!!!

Menulis tentang seks itu sendiri bagi saya adalah sebuah tujuan. Seks menjadi sebuah seni realisme dan surealisme tersendiri yang saya uraikan dalam bentuk tulisan. Memadukan berbagai unsur dalam kehidupan untuk menjadi apa yang saya sebut dengan satuan pencahayaan. Memberikan terang atas gelap agar sisi gelap itu menjadi lebih terang. Apa yang selama ini tidak dipandang kemudian menjadi tampak lebih jelas. Memberikan pandangan atas sisi yang berbeda. Tidak untuk dilecehkan ataupun melecehkan seks itu sendiri. Humor yang tidak lucu sama sekali bila merendahkan apa yang menjadi sebuah anugerah. Seks adalah titik awal kehidupan dan seks adalah kehidupan itu sendiri. Memikirkan seks merupakan sebuah seni tersendiri. Jauh lebih nikmat dari hanya sekedar melakukan hubungan seksual.

Selama ini kita terlalu sibuk dengan dunia nyata sehingga melupakan apa yang sebenar-benarnya. Berkutat hanya pada satu sisi pandang saja yang membuat kita semua pada akhirnya menjadi capek, jenuh, dan lelah sendiri. Hilang sudah semangat dan keinginan untuk bercinta dan memiliki cinta untuk negara dan bangsa ini. Tertutup oleh amarah, dendam, dan sakit hati sehingga logika terus saja terurai tanpa mengindahkan peranan tidak logis di dalamnya. Kasus Century contohnya. Buat saya, terlihat sangat jelas apa yang menjadi dasar atas semua kejadian ini. Namun, saya belum juga menemukan ada yang menuliskan tentang hal ini. Entah karena memang tidak tahu atau tidak punya cukup nyali untuk menuliskannya. Saya?! Hahaha… Bukan bagiannya!!!

Ibarat seorang gadis muda yang baru saja tumbuh dewasa dan kehilangan kekasihnya untuk pertama kali. Sibuk memandangi lautan dan mencari apa yang hilang itu dan kemudian mempertanyakan tentang hak untuk mencintai dan dicintai. Seolah-olah semua itu menjadikannya tidak berbentuk sebagai makhluk yang disebut sebagai manusia. Padahal bila semua itu kemudian dikembalikan kepada ujung cerita, akan ada yang namanya kerinduan. Kerinduan ada karena ada cinta di dalamnya. Cinta adalah bagian dari seks itu sendiri begitu juga kebalikannya. Menjadi sebuah makna tersendiri bagi kehidupan di masa mendatang. Apa yang akan terjadi nanti saat waktu itu tiba?

Apa semua ini termasuk bagian dari revolusi?! Sebuah pertanyaan menarik yang pertama kalinya diajukan oleh seorang teman saya, yang sangat kritis sekali terhadap tulisan-tulisan saya. Dia mempertanyakan ini sejak awal saya menulis tentang seks, cinta, dan juga politik. Dia sangat jeli sekali!!! Saya sangat mengakui kejeniusannya.

Saya tidak bisa bilang ya tapi tidak bisa juga bilang tidak. Sekarang saya tanya kepada semua, apakah setiap kali menulis atau menghasilkan karya tidak memiliki tujuan?! Karya yang dianggap asal dan sampah oleh penciptanya sendiri pun pasti memiliki tujuan. Sudah pasti saya memiliki tujuan dalam setiap kali menulis. Tidak mungkin tidak. Hubungannya dengan revolusi?! Menurut saya, ini hanyalah bagian dari ledakan atas kecemasan yang ada dalam diri saya saja. Merupakan bagian dari cara saya untuk mempertahankan eksistensi agar tidak terserap dan terpengaruh oleh norma-norma dan perilaku yang terjadi sekarang ini. Sebuah kesadaran penuh bahwa abnormalitas intelektual seharusnya tidak pernah membiarkan kegilaan dalam hal-hal estetika mati dan padam oleh mereka yang hanya bisa patuh dan merasa waras serta merasa bagian dari kaum elite dunia intelektual dan religius. Saya sangat yakin, bila membaca tulisan-tulisan yang lain, sebenarnya banyak yang melakukan hal yang sama. Biarpun dalam bentuk karya yang berbeda. Sadar tidak sadar, ya!!! Apa ini bisa disebut revolusi?!

Tidak mudah memang untuk mengembalikan apa yang seharusnya tetapi bila dilakukan secara bersama tentu saja bukanlah sesuatu yang mustahil. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) saja sudah sangat membantu. Kebebasan berekspresi tidak bisa dijadikan alasan untuk bebas sebebasnya karena bebas itu sendiri memiliki batas. Tidak ada guna untuk berkelit bila pada akhirnya hanya merupakan pembenaran saja. Bila memang benar merasa memiliki rasa mendalam atas hati yang penuh dengan segala rasa sehingga mampu menghasilkan sebuah karya, pastilah memiliki apa yang disebut dengan cinta. Akui sajalah itu. Bila tidak memiliki, ya, wajar saja kalau tidak menghasilkan bentuk. Maaf, deh!!!

Seni, seks, dan revolusi. Tiga dunia yang tidak mungkin dapat dipisahkan begitu saja. Silahkan memikirkannya kembali.

Selamat berpikir!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar